Gelaran Indonesia Super League 2013 sudah akan bergulir kurang dari 20 hari lagi. Masih ada waktu tersisa untuk membenahi apa yang bisa dibenahi. Mepet, tak ada pilihan selain secepatnya menemukan lubang yang mesti segera ditambal.
Lubang-lubang itu terlihat jelas saat Persib menelan pil pahit kalah 2-0 oleh Persisam Samarinda. Diperkuat oleh 4 pemain PON Kaltim [1 di antaranya mencetak gol dan 1 lainnya bikin 2 asisst] dan hanya ditopang oleh 2 pemain asing, Persisam di babak 2 bermain sangat meyakinkan.
Apa yang bisa dipelajari dari kekalahan ini?
Penyelesaian Akhir
Sampai menit 20-an babak I, Persib masih cukup enak bermain. Tidak mempesona ditonton, tapi jauh dari kata buruk. Persib bahkan mencatatkan 3 sampai 4 kali percobaan mencetak gol. Salah satunya peluang emas yang gagal dimaksimalkan Atep. Jika boleh berandai-andai, situasi mungkin akan sangat berbeda jika Atep berhasil mengkonversi peluang hasil umpan Firman menjadi gol. Ah, sayang, sejarah tak mengenak kata “andai”…
Jangan heran jika Sartono Anwar kemarin menyebut: “Persib seharusnya bisa cetak 2 gol di babak I”.
Buruknya penyelesaian akhir sudah terlihat saat 2 laga awal Inter Island Cup melawan Gresik United dan Persepam Madura. Banyak sekali peluang terbuka di dalam kotak penalti, tapi sebanyak itu pula yang terbuang. Dzumafo, Atep dan Ridwan sering membuang peluang di dua laga itu.
Sejauh ini, harus diakui, baru Kenji yang memperlihatkan karakternya sebagai poacher. Dzumafo, secara taktik, memang tidak dimaksimalkan sebagai goal-getter melainkan sebagai holding-ball. Dalam laga-laga di Inter Island Cup, Dzumafo “diizinkan” untuk menahan bola atau bahkan bermain melebar ke sayap. Dengan taktik demikian, sebagaimana ekspektasi atas strategi menggunakan 1 striker lainnya, pergerakan dan penetrasi dari lini kedua sangat dibutuhkan.
Peluang emas Atep di babak I juga lahir dari skema itu. Dzumafo menerima bola di sisi kanan, lalu mengoper pada Firman yang tiba-tiba berada di depan kotak penalti. Firman lalu menyodorkan umpan ke dalam kotak penalti yang disambut Atep yang muncul juga dari lini kedua.
Kenji sempat diturunkan sebagai starter dalam skema 4-2-3-1 saat menghadapi Persidafon, tapi Dzumafo juga tetap bermain sebagai starter dengan menempati posisi Atep di flank kiri. Setelah bergabungnya Firman, dkk., belum pernah Persib memasang 4-2-3-1 dengan Kenji sebagai starter dan Dzumafo ditaruh di bench. Opsi ini belum dicoba, dan layak dicoba, jika kita berbicara soal penyelesaian akhir yang buruk.
Lini Tengah Stagnan Jika Firman Tertahan
Persisam bermain dengan skema bertahan yang bersandar pada pola 3 bek klasik dengan 2 stopper [Joko Sidik, M. Robby] dan 1 libero [Pierre Njanka]. Ini bukan kali pertama Persib berhadapan dengan lawan yang menggunakan skema bertahan demikin. Saat menghadapi Persidafon di babak grup, mereka juga memakai skema yang sama dengan Sugiantoro sebagai libero dan Cirelli-Andri Ibo sebagai stopper. Baik Persisam dan Persidafon juga sama-sama menempatkan seorang pemain asing di depan lini pertahanan: Kwon-Jun di Persidafon dan Lancing Kone di Persisam.
Persib cenderung kesulitan menghadapi skema ini. Situasinya hampir sama: Firman Utina tertahan oleh Kwon-Jun dan Kone.
Skema 4-2-3-1 akan maksimal jika pemain di belakang striker [Firman Utina] leluasa mengeksplorasi attacking-third. Ini membuat jarak antara Firman dan Dzumafo relatif berdekatan. Jika Firman tidak leluasa mengeksplorasi attacking third, maka Dzumafo akan terisolir sendirian di jantung pertahanan lawan.
Penyelesaian di lapangan yang diambil oleh Firman akhirnya lewat through-pass panjang membelah pertahanan lawan, terutama ke arah flank yang ditempati Atep dan Ridwan. Saat menghadapi Persidafon, umpan panjang Firman berhasil mencapai Ridwan yang lantas dilanggar dan berbuah penalti yang dieksekusi Dzumafo dengan sempurna. Sejak itu, skema Persib bisa kembali normal. Saat menghadapi Persisam, umpan-umpan panjang itu tidak berhasil.
Kenapa tak berhasil? Karena Lancing Kone memang sangat disiplin melindungi kedalaman pertahanan timnya. Sangat jarang Kone naik ke atas. Sekalinya naik, dia malah mencetak gol. Sementara saat menghadapi Persidafon, Kwon Jun tidak “sedisiplin” Kone. Kwon cenderung menjadi deep-playmaker ketimbang DM yang stabil menjaga kedalaman. Ini menjadi pembeda. Kendati Firman sama-sama tertekan, Firman saat itu masih cukup leluasa untuk mengirim umpan-umpan panjang.
Mbida-Asri Juga Terdesak di Tengah
Tapi bukan hanya itu saja akibat dari kesulitannya Firman memasuki attacking-third. Ini membuat Mbida-Messi dan Asri Akbar juga ikut-ikutan terdesak di lini tengah. Mbida dan Asri lebih sering bergerak di own-half [lapangan sendiri]. Jika pun berhasil naik ke atas, keduanya sering terpaku oleh pergerakan Firman yang memang kesulitan di attacking-third.
Seperti ada semacam “keengganan taktik” dari Mbida atau Asri untuk naik melewati Firman yang stuck. Mbida sekali memasuki kotak penalti dan terjatuh. Sekali Asri Akbar memasuki kotak penalti di babak 2 mencoba mengambil bola rebound hasil crossing Tony Sucipto. Di luar itu, minim sekali topangan Mbida dan Asri.
Memang Asri akhirnya berani naik ke depan saat Persib sudah tertinggal dan dengan 4-4-2 [Mbida diganti Kenji]. Tapi itu cukup terlambat. Sebelumnya, Mbida dan Asri bener-benar kesulitan untuk ikut membongkar kedalaman pertahanan Persisam. Seperti yang terlihat dalam chalkboard di atas, jika Mbida-Asri naik, Supriyono dan Ahmad Sumardi segera ikut mencegat [lihat chalkboard di atas]
Beroperasi dari Sisi Lapangan
Sebenarnya, opsi menyerang dari 2 flank yang ditempati oleh Atep dan Ridwan adalah bagian dari rencana permainan Djanur. Di babak I, skema ini cukup mampu merepotkan Persisam. Supardi memberi topangan yang memadai pada Ridwan, apalagi Tony Sucipto.
Di babak I, Tony Sucipto benar-benar merajai sisi kiri lapangan. Dia relatif mampu mengunci Ferdinan Sinaga sehingga pemain temeperamental itu sangat kesulitan untuk bisa mengirim umpan. Tak hanya itu, Tony juga sangat rajin naik membantu Atep. Sepanjang pertandingan, Tony rajin sekali menyisir pertahanan lawan. Peluang Atep lahir karena keberanian Atep memasuki kotak penalti saat Dzumafo bergerak ke sisi lapangan lainnya. Itu tak lepas dari tekanan Tony yang memaksa Supriyono gagak melacak Atep. Peluang Asri Akbar di babak 2 juga lahir dari keberanian Tony menyisir sisi kanan pertahanan Persisam.

Dalam artikel preview pertandingan ini, kami sebenarnya sudah menyoroti kemungkinan mengeksploitasi celah pertahanan Persisam lewat sayap. Untuk sebagian, celah ini bisa dieksploitasi oleh sisi Atep-Tony kendati sayang tak menghasilkan satu gol pun. Dalam artikel preview, kami memprediksi Diaz Angga yang akan dipasang si sisi kiri, ternyata Ahmad Sumardi yang jadi starter.
Skema menyerbu dari sayap saat lini tengah Persib terkunci dan tertahan di tengah ini seperti menjanjikan sesuatu, sampai akhirnya Sartono Anwar di babak II membuat 2 perubahan vital yang mengubah keseluruhan jalannya pertandingan.
Gagap Mengantisipasi Perubahan Strategi Lawan
Memasuki babak II, Sartono Anwar melakukan dua perubahan yang sangat vital. Pertama, menarik Lerby untuk diganti oleh Aldair Mokotindu serta menukar posisi Ferdinan Sinaga di kanan ke kiri dan Bayu Gatra dari kiri ke kanan. Perubahan ini membuat Tony tak lagi berhadapan dengan Ferdinan tapi dengan Bayu Gatra dan membuat Supardi kali ini harus menghadapi Ferdinan. Dua gol Persisam datang dari dua perubahan vital ini.
Gol pertama lahir setelah free-kick gagal Tony Sucipto. Menerima bola di daerah pertahanan yang harusnya dijaga Tony, Bayu dengan leluasa mengirim crossing empuk dengan yang dengan sangat rileks di-eksekusi oleh Aldair. Gol kedua lahir dari crossing Supriyono ke tiang jauh disambut oleh Bayu Gatra lantas dikembalikan ke tengah kotak penalti kepada Aldair yang lalu memberi umpan dada pada Kone yang tiba-tiba muncul di dalam kotak penalti.
Harus diakui, Persib tak mampu mengantisipasi perubahan ini. Jika melihat chalkboard produksi umpan Persisam di babak I dan II, terlihat Persisam memang mengincar area yang dijaga Tony Sucipto. Mayoritas umpan Persisam di babak I dan menjelang terjadinya gol diarahkan ke titik itu. Bedanya, di babak I, Tony dibantu Naser relatif bisa mengunci pergerakan Ferdinan.
Itulah sebabnya Sartono Anwar menukar posisi Ferdinan dan Bayu Gatra. Perubahan strategi ini berhasil. Dipindahkannya Ferdinan membuat Supardi jadi lebih ekstra waspada sehingga di babak II itu Supardi tidak seagresif babak I dalam menopang Ridwan. Di sisi lain, penempatan Bayu Gatra di area Tony juga berhasil meningkatkan daya gedor Persisam.
Jika kita bandingkan 2 chalkboard umpan Persisam di attacking third seperti terlihat di atas, di babak 2 [gambar sebelah kanan] mulai banyak sekali umpan-umpan Persisam yang succesfull di area yang dijaga Tony [hitam = umpan sukses, merah = umpan gagal].
Djanur tampaknya tidak menyadari ini sehingga terlihat Tony tetap “dibiarkan” untuk rajin naik ke atas. Dari satu sisi ini bisa dipahami karena sepanjang pertandingan, kolaborasi Tony-Atep ini yang jadi satu-sayunya tumpuan setelah lini tengah Persib tertahan. Di sisi lain, situasi ini membuat sisi yang dijaga Tony jadi rentan diekspoiltasi Bayu Gatra. Dan terbukti demikian adanya.
Perbedaan paling kentara dari Bayu Gatra dan Ferdinan adalah Ferdinan kuat dengan bola dan Bayu Gatra cerdas justru dengan gerakan tanpa bola. Ferdinan bisa dimatikan oleh Tony dan Naser karena dia cenderung berlama-lama memegang bola, sementara Bayu Gatra sebaliknya. Dia memaksimalkan pergerakan tanpa bola, sesuatu yang sukar diantisipasi lagi oleh Naser jika Tony sendiri disibukkan oleh tugas menopang Atep.
4-4-2 vs 5-2-3
Saat Persib tertinggal, sebagaimana juga terjadi saat menghadapi Persidafon, yang dilakukan oleh Djanur sama saja: mengganti pemain tengah [dalam hal ini Mbida-Messi] dengan Kenji Adachihara, disusul 3 menit kemudian mengganti Dzumafo dengan Airlangga. Dengan jam terbangnya, sembari melihat statistik pergantian Persib sebelumnya, Sartono Anwar mudah saja mengantisipasi perubahan strategi ini. Lagi pula, tidak perlu ada perubahan dramatis untuk mengantisipasi Persib yang kini bermain 4-4-2.
Secara natural, skema bertahan 3 bek dengan 2 stopper dan 1 libero sebenarnya pakem yang lahir untuk menangkal untuk menangkal serangan lawan yang menggunakan 2 striker. Yang terjadi adalah 2 stopper menghadapi 2 striker. Satu pegang satu. Man to man marking.
Sartono hanya perlu memberi sedikit sentuhan dengan meminta Supriyono dan Ahmad Sumardi lebih turun ke bawah dan kali ini memerankan diri sebagai full-back guna mengantisipasi ledakan ekspolitasi Atep dan Ridwan. Situasinya jadi lebih mudah lagi karena Tony tak akan seagresif sebelumnya membantu Atep karena “hukuman” yang diberikan Bayu Gatra. Begitu juga Supardi yang kini harus memberi perhatian ekstra pada Ferdinan.
Di sini, pertarungan antara Persib vs Persisam bukan lagi 4-2-3-1 vs 3-4-3, tapi 4-4-2 melawan 5-2-3 [Supriyono-Sumardi kali ini sudah pure menjadi full-back] dengan Njanka tetap berdiri bebas di belakang sebagai libero klasik. Mestikah diherankan jika peluang Persib dengan 2 striker ini tak sebanyak dan tak sebagus peluang-peluang yang diperoleh Persib pada 20-30 menit pertama babak II.
Perubahan Strategi yang Reaksioner
Saat Persib tertinggal 1-0, Djanur langsung memasukan Kenji untuk menggantikan Mbida-Messi pada menit 58. Perubahan baru ini baru berjalan 3 menit, dan belum menghasilkan impact yang berarti, Djanur kembali melakukan pergantian pemain dengan menggantikan Dzumafo oleh Airlangga. Praktis, dalam 30 menit terakhir Persib bermain dengan 2 penyerang murni saat kombinasi Dzumafo-Kenji sendiri sama sekali berlum bekerja [karena baru 3 menit].
Mengganti Mbida dengan Kenji masih bisa dipahami [walau ini pasti amat mudah diprediksi Sartono], tapi 3 menit kemudian juga mengganti Dzumafo dengan Airlangga amatlah mengejutkan. Sukar untuk tidak menyebut pergantian pemain ini sebagai strategi panik yang kelewat reaktif.
Dengan serta merta menjawab ketinggalan 1 gol [ya, baru 1 gol saat itu] dengan langsung memasukkan 2 poacher sekaligus, membuat kami bertanya: apakah Persib menyadari kalau persoalan utama Persib di laga ini mula-mula adalah mandeknya lini tengah Persib?
Salah satu yang menonjol dari kepemimpinan Djanur adalah kepercayaannya pada trio lini tengah yang ditempati Firman-Mbida-Asri. Tapi Djanur tak berhenti hanya dengan percaya pada trio itu sebagai starter, tapi juga percaya penuh pada pembagian peran ketiganya jika bermain bersamaan: Firman sebagai gelandang serang, Mbida sebagai anchor-man yang jadi penyeimbang dan Asri sebagai gelandang bertahan.
Dengan pakem 4-2-3-1, bisa dimengerti jika trio itu yang dipercaya sebagai pemain utama. Tapi agak disayangkan jika komposisi tiga pemain itu tidak divariasikan dengan perubahan pembagian peran di antara ketiganya. Misal: Asri Akbar didorong ke depan dan Firman Utina didorong ke belakang menempati Mbida dengan Mbida menjadi DM.
Skema ini dimungkinkan karena: pertama, kelebihan Asri Akbar adalah power, speed dan kemampuan duelnya yang bagus; sehingga dia bisa didorong ke depan untuk merusak kekokohan lini tengah lawan dengan pergerakan-pergerakannya. Catatan gol Asri Akbar di beberapa laga ujicoba juga menunjukkan dia punya finishing yang bagus.
Kedua, Firman Utina sejauh ini adalah pemain dengan kemampuan long-pass yang terbaik dibanding Asri atau Mbida; sehingga jika pun dia “dipaksa” untuk turun ke dalam, dia masih bisa mengganggu lawan dengan umpan-umpan panjang.
Ketiga, Mbida-Messi di klub sebelumnya juga sering bermain sebagai gelandang bertahan. Dengan tubuhnya yang sudah lebih “langsing” dan daya tahannya yang semakin bagus, tak ada salahnya Mbida ditempatkan sebagai gelandang bertahan. Jika pun Mbida dianggap terlalu beresiko, Persib masih punya senjata pamungkas dalam hal kemampuan bertahan pada sosok Hariono. Siapa yang meragukan Hariono dalam soal satu ini?
4-2-3-1 memang percaya pada patok-patok pembagian peran di lini tengah. Komposisi pemain di lini tengah boleh saja sama, tapi siapa yang memegang patok-patok pembagian peran itu semestinya tidak “dikunci”. Rotasi pemabagian peran dalam memegang patok-patok itu [menurut hemat kami] belum dieksplorasi secara maksimal – atau bahkan mungkin belum pernah dicoba.

Poin dari uraian pada bagian ini adalah: memasukkan striker saat tertinggal terlampau common-sense [walau dalam sejumlah situasi itu tentu bisa dipahami]. Jika memang masalah ada di lini tengah, kenapa tidak lebih dulu mengubah pembagian peran dari trio lini tengah yang jadi jantung 4-2-3-1 ini?
Komposisi Staf di Bench
Sangat mengejutkan melihat asisten pelatih Sutiono, pelatih fisik Dino Sefrianto dan Direktur Teknik Indra Thohir malah duduk di bangku penonton, bukannya di bench mendampingi pelatih kepala. Dalam team-sheet resmi pertandingan, Asep Somantri malah tidak ada di bench [walau kenyataannya dia ada di bench].
Kami memohon dengan sangat: tolong maksimalkan jatah staf dan offisial di bangku cadangan untuk memberi tempat pada mereka-mereka yang punya tactical knowledge dan mereka yang memang tugasnya menjadi pendamping pelatih kepala.
Pada bagian ini, tentu saja kami mustahil membuatkan chalkboard.
Leres pisan,…satuju.
Lini Bench permasalahan yang sama dari musim lalu ,,, hanya tuhanlah yang bisa merubahnya …..
ya, sejak dulu PERSIB selalu lemah secara tim meski secara individu katanya pemain berkualitas. Barangkali perlu peningkatan kekompakan tim yang lebih solid.