Pasca Yusuf Bachtiar

Oleh Mang Lempar Isu

Dalam posisi sulit, Sutiono masih bisa mengirim umpan pada Yusuf Bachtiar dengan sundulan. Bola melayang tepat di atas garis kotak penalti Petrokimia. Sebelum bola menyentuh tanah, Yusuf Bachtiar yang melakukan ancang-ancang seperti hendak melakukan tendangan voli malah hanya menyodorkan bola dengan pelan ke arah Sutiono. Kapten Petrokimia, Sasi Kirono, dengan susah payah mencoba menghadang laju Sutiono. Gagal! Dengan kaki kirinya, Sutiono menyontek bola dan gol!

Itu adalah momen puncak Persib Bandung di musim pertama Liga Indonesia 1994/1995. Kemenangan 1-0 atas Petrokimia menjadikan Persib sebagai kampiun pertama era Liga Indonesia yang mempersatukan kompetisi Perserikatan dan Galatama. Sebuah prestasi emas yang sampai sekarang seperti sangat sukar diulang oleh generasi terbaru Persib Bandung.

Itu juga barangkali momen puncak seorang Yusuf Bachtiar. Sebagai gelandang, ia menyempurnakan pekerjaannya di musim itu dengan mengirim sebuah umpan yang mengecoh nan brilian – sebuah umpan bersejarah, sebuah assist yang akan selalu dikenang dan terkenang.

Sampai sekarang, masih banyak bobotoh yang merindukan permainan Yusuf Bachtiar, tepatnya peranan seorang play maker yang ciamik, barangkali lebih dari sekadar kerinduan bobotoh pada sosok striker klinis macam Sutiono. Tiap kali Persib bermain tanpa inspirasi, bermain dengan ritme yang acak-acakan, seringkali bobotoh teringat kembali dengan Yusuf Bachtiar, bukan Sutiono atau Robby Darwis.

Padahal, setelah Yusuf Bachtiar pension dari Persib Bandung pada 2001, sejumlah pemain bertipe play maker datang silih berganti. Akan tetapi,  entoch, kerinduan pada sosok pemain seperti Yusuf Bachtiar masih saja sering terdengar.

Disarankan untuk juga membaca artikel Pangeran Siahaan tentang play maker DI SINI, sebelum melanjutkan membaca bagian laiannya dari artikel ini.

****

Yusuf bachtiar, seperti yang pernah dibahas di artikel “Mitologi 3-5-2“: “Di pos lapangan tengah, 3 gelandang menjaga keseimbangan engine room ini dengan pembagian peran begini: 1 orang berperan menjaga kedalaman dan melindungi backline (devensive midfielder/DM), 1 orang berperan sebagai penyeimbang sekaligus passer, dan 1 orang sebagai gelandang menyerang atau penyerang lubang (trequarista/fantastista).” Serta “Tiga gelandang tengah di isi oleh Asep Somantri sebagai DM, Yusuf Bachtiar sebagai penyeimbang (seperti posisi Pirlo atau Xabi Alonso) dengan Adjat Sudrajat yang sedang berada di puncak keemasannya sebagai gelandang serang dengan area jelajah yang tak terbatas.”

Menggambarkan vitalnya peran seorang yusuf bachtiar sebagai penyeimbang alur bola Persib saat itu. Kemampuan, visi serta daya jelajah yang lumayan luas mempu membuat tikitaka Persib sangat berbahaya. Keberadaanya dinamis yang seimbang dalam menyerang dan bertahan dibantu oleh dua rekannya(Asep Somantri yang disiplin dalam bertahan menjaga lini tengah dan Adjat Sudrajat di depan sebagai pendobrak dengan skill individunya).

Hal yang sama terjadi pada Liga Indonesia 1994/1995. Pekerjaan Yusuf dibantu oleh AsepKustiana dan/atau kadang Mulyana di belakang dengan Yudi Guntara yang mobile dan liat berada di depannya. Ini memungkinkan Yusuf mampu bekerja sebagai regista namun secara tiba-tiba bisa naik merangsek ke depan ikut menyerang; sesuatu yang terlihat dengan jelas saat ia member assist pada Sutiono saat berhadapan dengan Petrokimia di partai final Ligina I.

Terutama setelah Adjat Sudrajat hengkang dari Persib, Yusuf Bachtiar tampil sebagai tipikal play maker klasik yang diberi keleluasaan bergerak, berpindah posisi, juga bisa leluasa memegang bola. Eksekusi bola-bola mati, terutama tendangan bebas di area pertahanan lawan, juga menjadi jatahnya. Dia tipe play maker yang kadang berperan sebagai enganche, bisa bermain dari kedalaman dan mengontrol ritme dalam peran sebagai deep-lying play maker tapi bisa juga menjadi attacking midfielder yang berada di belakang dua striker dan muncul sebagai second-line.

 

****

Setelah Yusuf Bachtiar, beberapa pemain lokal coba mengisi peranan Yusuf Bachtiar. Persib bahkan sempat mendatangkan mantan play maker tim nasional, Ansyari Lubis, yang pernah menjadi pemain termahal di kompetisi Galatama pada musim 2002, dengan tipe permainan yang paling mendekati Yusuf Bachtiar, bahkan dalam beberapa aspek punya kelebihan dibanding Yusuf – terutama dalam men-delay permainan. Akan tetapi, Ansyari Lubis yang secara usia sebenarnya lebih muda dari Yusuf Bachtiar, saat itu sudah mengalami penurunan dan sudah tidak lagi berada di puncak kejayaannya.

Sebelum kedatangan Ansyari Lubis, Persib sebenarnya sempat mengorbitkan seorang gelandang yang punya kecenderungan mahir memainkan tempo pertandingan yaitu Imam Riyadi. Di bawah asuhan Nandar Iskandar, sejak musim ketiga Ligina, Imam Riyadi perlahan-lahan mulai menggantikan Yusuf.  Imam cukup pintar dalam memainkan tempo, bagus dalam keeping bola, memadai dalam eksekusi bola-bola mati. Minus kecepatan dan mobilitas, Imam tak bisa menyamai level permainan Yusuf yang pernah memainkan deep-lying play maker sekaligus juga sering melakonkan peran sebagai attacking midfielder di belakang striker.

Imam bahkan sempat dipanggil  tim nasional pada Piala Tiger 1998. Akan tetapi, karir Imam Riyadi tidak secemerlang Yusuf, barangkali lebih karena soliditas tim yang terus berubah-ubah, mengikuti tradisi baru Ligina, di mana tiap musim para pemain datang silih berganti dengan pola rekrutmen yang tidak berjenjang sebagaimana era perserikatan. Terlebih lagi manajemen tim juga seringkali melakukan pergantian pelatih sehingga selera pada pemain juga berganti-ganti. Setelah Indra Tohir tidak lagi melatih Persib, selama 6 tahun, kursi kepelatihan di Persib berganti sampai enam kali; sesuatu yang jarang terjadi di era Perserikatan.

Pada Liga Indonesia 2003/2004, Persib mulai membuka diri terhadap masuknya pemain asing. Di musim ini PERSIB kedatangan legiun asing asal Polandia yang dibawa pelatih asing juga asal Polandia yaitu Marek Andresz Sledzianowsky. Pemain yang dibawanya adalah Mariusz Mucharsky (kiper), Pawel Bocian (stopper/gelandang bertahan), Piotr Orlinski (play maker) dan Maciej Dolega (striker). Namun performa yang tidak memuaskan dari para legiun asing tersebut membuat semuanya terusir dari PERSIB.

Khsusus untuk  keberadaan Piotr Orlinski sebagai play maker, secara skill permainan pemain ini sebenarnya cukup bagus. Hanya saja, dia berada di tim yang situasi dan soliditas timnya amat buruk. Skill dan kemampuan Orlinski tenggelam oleh performa Persib Bandung yang jelek.

Selanjutnya, Persib mendatangkan pelatih dari Cile yaitu Juan Antonio Paez yang juga membawa gerbong pemain  yaitu Claudio Lizama (stopper/libero), Alejandro Tobar (play maker) dan Rodrigo Sanhueza (striker).  Musim berikutnya, gerbong Amerika Latin masih menghiasi PERSIB ditambah dengan masuknya pemain dengan skill luar biasa (untuk ukuran Indonesia) yaitu Julio Lopez menggantikan posisi Rodrigo Sanhueza, plus kedatangan Adrian Colombo (Uruguay) yang menjadi rekan Julio Lopez di lini depan. Sayang sekali karena permasalahan yang tidak jelas, 2 nama terakhir pada putaran ke-2 sudah tidak ada lagi di daftar pemain PERSIB dan untuk gantinya PERSIB mendatangkan Osvaldo Moreno dan Christian Molina.

Catatan untuk Tobar, dialah sosok play maker asing pertama yang dengan cepat berhasil memainkan peranannya sebagai kreator permainan. Dribling-nya yang bagus, kecepatannya yang lumayan memadai, serta eksekusi bola-bola mati atau shooting-shooting dari second line, juga memungkinkan Tobar menjadi pemain yang kadang menentukan hasil pertandingan dengan kemampuan individualnya sendiri.

Lihat ilustrasi di bawah ini untuk mengetahui gambaran posisi Tobar pada dua musim saat bersama Persib:

Posisi Tobar pada musim 2003 dengan Marwal Iskandar dan Adrian Mardiansyah bermain di belakangnya.
Formasi Persib musim 2004 dengan Tobar masih bermain di belakang dua striker.

Bedanya, jika Yusuf lebih berkarakter deep-lying play maker (puncak permainan Yusuf sebagai deep-lying yaitu saat Adjat masih berseragam Persib), Tobar jauh lebih ofensif. Kemampuan menjaga bolanya yang bagus membuat Tobar seringkali menembus pertahanan dengan dribbling mengejutkan dari lini kedua. Tobar lebih dekat dengan karakter trequartista (secara harafiah berarti “sepertiga lapangan”) yang bermain di belakang striker.

Tobar juga punya keleluasaan dalam bergerak karena ia tidak diberi beban untuk ikut membantu pertahanan. Ditopang oleh pemain-pemain liat macam Marwal Iskandar dan Andrian Madriansyah, Tobar punya kenyamanan bermain jauh di atas. Tipikal permainannya agak berdekatan dengan gaya permainan Ronald Fagundez.

Di luar nama-nama asing itu, Persib sendiri sempat memunculkan gelandang muda dari tim yuniornya sendiri yaitu Yaris Riyadi. Ia muncul sedikit lebih di belakang Imam Riyadi, akan tetapi keduanya sempat bermain bersama dengan Yaris mula-mula muncul dari bench. Untuk pemain lokal, barangkali Yaris Riyadi inilah suksesor Yusuf Bachtiar pertama yang dianggap punya kelas tersendiri. Kemampuan Yaris itu tercermin dari caps-nya untuk tim nasional yang jauh melebihi Imam Riyadi. Selama sekitar 3 tahun, dari 2000 sampai 2003, Yaris Riyadi berulang kali tampil di tim nasional, termasuk menjadi starter dalam laga final Piala Tiger melawan Thailand pada 2003.

Dengan kualitas fisik yang dimilikinya, Yaris memang menjadi salah satu gelandang lokal terbaik yang dimiliki Persib Bandung pada era Liga Indonesia. Sejatinya, Yaris lebih bertipe box to box midfielder yang rajin membantu serangan dan ikut membangun pertahanan. Endurance dan mobilitasnya yang tinggi membuat Yaris Riyadi bisa dengan mudah menjelajah dari kedalaman Persib, bergerak ke sisi kiri (Yaris pemain yang dominan dengan kaki kiri) dan/atau bahkan muncul dari second line.

Pada musim 2004, skuad lini tengah Persib Bandung sebenarnya bisa dikatakan lumayan bagus. Yaris Riyadi satu tim dengan Alejandro Tobar, Suwitha Patha, dan bahkan mendatangkan play maker tim nasional di awal tahun 2000an yaitu Imran Nahumarury yang sebenarnya masih dalam usia emas. Posisi Yaris sendiri kadang bergantian dengan Imran Nahumarury dalam menjaga keseimbangan permainan untuk memberikan kenyamanan bermain bagi Alejandro Tobar. Kadang, jika turun sebagai starter, Yaris bermain sebaga wing back dalam formasi 3-5-2 (sebagaimana kelak Eka Ramdani juga kadang bermain di flank kanan saat Persib diperkuat Cabanas dan Suchao Nutnum).

Formasi Persib musim 2005. Saat Eka mulai naik kontribusinya dan Yaris masih rutin bermain sebagai starter.
Formasi pada musim 2006. Inilah musim di mana Eka benar-benar bermain dengan amat leluasa, lebih leluasa secara posisi dan area ketimbang era sebelumnya dan sesudahnya.

Pada musim 2006, Eka bermain dengan posisi yang lebih “nyaman” karena ia mendapatkan kebebasan bergerak jauh di depan. Musim ini menempa banyak kematangan Eka dalam soal mengatur tempo dan pengalaman dalam bergerak menjelajah di belakang striker.

Kekuatan lini tengah Persib juga meyakinkan di era kepelatihan Arcan Iurie pada 2007. Saat itu, lini tengah Persib diperkuat oleh Lorenzo Cabanas, Eka Ramdani dan Suwitha Patha dengan Yaris Riyadi masih berada di skuad.  Suwitha Patha sebagai devensife midfielder yang mampu meng-cover kedalaman dengan kemampuannya membaca serangan lawan diimbangi dengan makin matangnya Eka Ramdani sebagai balancer yang memudahkan kinerja Lorenzo Cabanas menopang duet striker yang diisi oleh Bekamenga, Barkoui, Zaenal Arief dan Dicky Firasat.

Lihat formasi Persib dalam dua musim bersama Cabanas:

Formasi Persib musim 2007 saat Lorenzo Cabanas masuk dalam skuad.
Fromasi Persib musim 2008 saat era Indonesian Super League dimulai pertama kalinya.

Pada musim inilah Persib sempat menjadi juara paruh musim. Sayangnya, blunder di paruh musim dengan meminjamkan Nyeck Nyobe demi member slot pada Leo Chitescu membuat posisi PERSIB terkunci di posisi 5 akhir klasemen.

Di musim inilah peran Eka Ramdani sebagai deep-lying play maker mulai terasa signifikan. Dimatangkan oleh pengalamannya menimba jam terbang di Persijatim FC bersama seniornya, Imam Riyadi, Eka mulai secara paten mengisi starting eleven Persib Bandung. Makin vitalnya peran Eka inilah yang membuat Iurie membuat blunder “membuang” Nyeck demi mendatangkan Chitescu menyusul keharusan Eka mengikuti TC timnas U-23.

Secara posisi, Eka mungkin paling mirip jika dikaitkan dengan Yusuf lantaran jika melihat posisinya sebagai deep-lying playmaker. Bedanya, Yusuf terbantu keberadaan Defensive Midfielder yang bagus (Asep Kustiana/Asep Soemantri/Mulyana). Yusuf juga punya pemain yang berdiri di depannya dengan fungsi berbeda, Yudi Guntara (gelandang serang) atau Adjat Sudrajat (trequartista). Ini bedanya dengan Eka. Dia dapat pasangan bagus pas Lorenzo Cabanas. Lantaran pos gelandang bertahan tidak terlalu bagus, fungsi Eka juga berubah jadi box to box midfielder.

Puncak penampilan Eka Ramdani itu juga berimbas pada tim nasional. Dalam Piala Asia 2007, Eka tampil sebagai starter dengan penempatan posisi yang hampir sama dengan di Persib. Dalam skema 4-3-3 yang diusung Kolev, Eka Ramdani bermain di antara Syamsul Chairuddin sebagai DM dan Firman Utina sebagai AM. Eka benar-benar menjadi pemain box to box midfielder pada era ini.

Sejak penampilannya yang ciamik di musim 2007/2008 peran Eka nyaris tak tergantikan sebagai otak serangan PERSIB. Belum lagi kehadiran sosok Cabanas yang berperan sebagai trequarista dengan kualitas yang setara dengan Tobar, bahkan mungkin lebih komplit dalam soal determinasi, mobilitas dan kemampuan melewati pemain lawan dalam situasi one on one yang membutuhkan skill dan kecepatan.

Di era Jaya Hartono musim 2009/2010, Persib bahkan pernah memiliki kemewahan di sektor lini tengah dengan komposisi skuad dari mulai Eka, Suwitha, Hariono, Suchao Nutnum dan dengan Hilthon yang seringkali juga ditempatkan sebagai pemain flank di lini tengah.

Dibandingkan Eka, Suchao sebenarnya lebih mirip Yaris Riyadi dalam soal determinasi, endurance, mobilitas, dan daya jelajahnya. Jika Jaya menginginkan permainan yang cepat, Suchao pasti ditempatkan di tengah dan menggeser Eka ke sisi kanan. Suchao tak pernah memegang bola berlama-lama. Dia pemain yang selalu berpikir dalam kerangka pass and move, pass and move, dan pass and move.

Lihat formasi Persib dengan Suchao berada dalam skuad:

Formasi Persib dengan Suchao berada di dalam skuad. Formasi ini berubah di putaran kedua saat Suchao harus kembali ke Thailand.

Komposisi cukup ideal kembali dimiliki Persib ketika Miljan Radovic didatangkan Persib pada putaran kedua 2010/2011. Di sini terjadi pembagian peran antara Eka dan Radovic untuk menjadi pengatur serangan PERSIB. Dengan Hariono menjaga backline, Eka bermain sebagai balancer,  kembali menjadi seorang yang berkarakter deep-lying play maker, mencoba menjadi kreator serangan dari kedalaman, dengan passing-passing panjangnya yang makin bagus terutama pada el-Loco Gonzales.

Era dengan Miljan masuk ke dalam skuad. Ini musim terakhir Eka Ramdani di Persib.

Pada formasi ini, Miljan leluasa bermain dengan segala keterbatasan fisik dan mobilitasnya. Salah satunya karena Persib bermain dengan 2 striker yang memungkinkan area gerak yang harus di-cover Miljan pun tidak terlalu luas. Jarak antara Eka dan Hariono dengan dua striker jauh lebih rapat.

Ini berbeda di musim ini saat Miljan bermain dalam skema 4-2-3-1 dengan dua DM yang bermain cenderung sejajar. Area yang harus di-cover Miljan jadi lebih luas, terlebih Mamic memilih bermain dengan 1 striker yang membuat area gerak Miljan juga menjadi lebih lapang. Dengan fisik dan mobilitas yang rendah, Miljan terlihat lebih minimal peranannya di musim ini, kecuali dalam soal eksekusi bola-bola mati.

****

Pemain yang menjadi kreator serangan pasca Yusuf Bachtiar sebenarnya banyak, baik pemain lokal maupun asing yang pernah keluar masuk Persib. Dari sedikit paparan di atas, secara skill dan visi bermain, rata-rata pemain yang diplot sebagai kreator serangan mempunyai skill dan visi yang cukup mumpuni.  Sayang, nama-nama kreator pengganti Yusuf itu sering dianggap tidak bisa menyamai kelas Yusuf Bachtiar. Bukan dari segi skill ataupun visi permainan sebenarnya, karena nama-nama pengganti Yusuf jika ditilik dari sisi skill maupun visi punya kelas tersendiri.

Perbedaan paling mencolok antara Yusuf dan nama-nama penggantinya barangkali terletak pada soliditas tim yang sudah terbentuk sedemikian lama, sedangkan suksesor Yusuf selanjutnya dihadapkan pada kendala soliditas tim. Hal ini dipengaruhi mekanisme rekrutmen pemain yang tambal sulam dan cenderung instan dalam rekrutmen pemain.

Sejak memenangkan Liga Indonesia I, kursi kepelatihan Persib sudah berganti sampai kurang lebih 16 kali, dengan beberapa nama (seperti Indra Tohir dan Risnandar) sempat kembali mengisi posisi pelatih Persib. Sulit mengharapkan komposisi pemain yang tumbuh secara solid. Pergantian pelatih dengan sendirinya menghadirkan selera pemain yang juga berbeda-beda yang akhirnya berujung pada komposisi pemain yang juga mudah berubah-ubah dari satu musim ke musim berikutnya.

Tentang kreator serangan pasca Yusuf Bachtiar, persoalan sebenarnya bukan terletak pada mencari pemain yang sepadan apalagi seperti Yusuf. Persoalan terletak pada keberanian manajemen tim membiarkan tim tumbuh secara organis, terbentuk pelahan-lahan, sehingga soliditas tim dengan sendirinya terbentuk juga secara organis.

———————
*grafis oleh The Merlins dan Lyovv

8 thoughts on “Pasca Yusuf Bachtiar

  1. komentarnya sama dgn artikel sebelumnya, andai 4-2-3-1 Persib skrng posisi Miljan diisi Suchao.. Maung pasti lbh menggigit!

  2. @herry ndik, mungkin bukan suchao-nya ya yg lebih tepat, tapi karakter pemain seperti suchao. kita juga gak tau perkembangan suchao, kabar yg terdengar permainannya tidak sebaik dulu.

  3. ya begitulah kira2 ‘seperti’ suchao dg mobilitas tinggi, krn admin pun sll blng peran miljan tdk terlihat kecuali bola mati..

  4. Keterbatasan fisik Memang menjadi kendala, Bukan Karena Kualitas Miljan yang biasa-biasa saja, tetapi karena faktor umur. Saran nih, Jika Mamic bersikukuh mengusung pola 4-2-3-1, Miljan jangan dijadikan Trequartista, Tetapi menjadi salah satu DMF Yang bertugas penyeimbang sekaligus passer, Kualitas nya akan terlihat disini.Jangan anggap remeh kemampuan Men-Delay permainan seorang Miljan Radovic. Saat di OFK Petrovac (Montenegro) dulu posisi nya persis sebagai penyeimbang tim sekaligus passer, (Kalo perlu dicontohkan bayangkan saja Xabi Alonso). Dia bermain sangat mobile, dan sesekali bisa menusuk Lini pertahanan lawan. Jadi Miljan akan berfungsi saat menjadi persis dengan pola sewaktu Eka masih ada. Seandainya masih ada Eka yang bisa menjadi Deep- Lying playmaker PERSIB Akan menjadi Tim yang snagat disegani.
    Masalahnya sekarang, kITA GAK PUNYA PEMAIN KAYA EKA, bukan coba bernostalgia dengan ‘Si Penghianat (bisa dibilang)Tapi nyatanya kita butuh seorang gelandang yang mempunyai mobilitas tinggi. Kalo boleh saran, Safiq Rahim (Mlaysia) cocok banget. Persis kaya eka, umurnya 23 Dan bisa Ahli dalam set Piece (Menambah amunisi Algojo free kick). Gaspar menurut saya juga boleh dipertahankan, karena bis menjadi bek tengah, dan bisa bermain seperti Hariono, Ataupun dengan peran nya yang saat dijalani di Persib, DMF. Tapi jika disuruh memilih, saya lebih memilih Miljan ketimbang Gaspar.. Pengalaman Milajn lebih baik, Gak ada alasan yang begitu kuat Untuk Gaspar menggantikan posisi Miljan….

  5. Saya malah membayangkan Miljan bermain di flank kiri. Musim lalu, area gerak dia banyak di kanan loh. membayangkan ada central-winger yg men-delay dari tepi lapangan, membagi bola ke tengah, silang ke flank satunya lagi. Mungkin tdk tepat berada di flank, tapi antara central dan flank. esteban viscara dg tipikal yg mirip (dg mobilitas dan speed yg hny sedikit lbh baik dari miljan) bisa bagus main di situ.

    dalam salah satu laga ujicoba pra-musim lawan saint prima, miljan juga main di flank kiri pada babak kedua, dan menurut saya hasilnya bagus. mungkin bisa dicoba secara perlahan dg berotasi posisi dg atep. ini sebuah eksperimen yg tidak terlalu beresiko jiga dimulai dg rotasi saat bermain, rotasi posisi secara acak maksud saya. jika terlihat bagus, ini bisa dieksplorasi lebih lanjut.

  6. mang ditunggu bahasan rekrutmen pemain persib yg tambal sulam hehe rasanya pemain asing yg masuk persib banyakan yg kualitas ‘membeli kucing dalam karung’

    hatur nuhun

  7. sedikit saran …
    1. u/ rekrutmen pemain, lebih baik memilih pelatih terlebih dahulu, jgn dibalik. Pelatih sebisa mungkin memilih pemainnya, agar sesuai dgn selera pelatih.
    2. saya setuju, miljan, dgn usianya yang senja, lebih cocok bermain agak turun, seperti Pirlo, Alonso atau Carrick. Dgn begitu, fungsi playmaker sbg pembagi & pengatur, dipegang orang lain. sayangnya, belum ada pemain lokal yang berkualitas sbg pengatur, selepas Eka & Firman yang menua.

  8. Andaikan mamic masih ada, mungkin bisa di coba formasi 4-3-3.
    Pertama utk DM nya Hariono (cedera) gantinya bisa tony / hendra ridwan. Kemudian sbg passer serta box to box midf adlh Gaspar. Meskipun udah gaek, Radovic bisa dijadikan AMF. dengan kammpuan passing dan dribling nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *